Syariat Islam di Aceh, Siasat Budaya Neo-Snouckis? [2]

Penulis: Otto Syamsuddin Ishak, 2005-04-07 11:15:30

Rezim Soeharto
Pada periode Soeharto, tiga keistimewaan itu diabaikan secara legal dengan Undang-undang Pemerintah Daerah dan Pendidikan Nasional. Bahkan, upaya mengimplementasikan tiga keistimewaan itu dengan mudah dihantam oleh isu komando jihad, dan Gerakan Pengacau Liar (GPK) dalam periode DOM (1989-1998).

Identitas lokal diorientasikan pada kebanggaan terhadap industri eksploitasi gas alam Arun. Industri itu dipropagandakan sebagai penghasil gas terbesar di dunia, yang menggunakan teknologi tercanggih (supra modern). Orang Aceh bangga—khususnya kaum birokrat dan kelas menengah atas—bahwa gagasan pembentukan Bappenas berasal dari pengembangan gagasan Aceh Development Board (ADB). Orang Aceh bangga bahwa pelembagaan ulama (Majelis Ulama Indonesia) adalah berasal dari Aceh. Elite agama Aceh tidak sadar bahwa pelembagaan ulama merupakan kelanjutan dari proyek kolonialisasi yang telah dilakukan oleh Snock Hurgronje. Pelembagaan itu merupakan siasat budaya pusat untuk mengontrol ulama melalui institusi birokrasi.

Dalam periode negara modern, komunitas muslim selalu disediakan musuh oleh penguasa politik. Islam dan muslim dibenturkan dengan non-Islam dan non-muslim. Islam dan muslim dibenturkan dengan komunisme (Tragedi ‘65). Hal ini membentuk karakter Islam eksklusif. Islam dan muslim dibenturkan dengan Islam dan muslim yang dilabel dan dipropagandakan oleh penguasa sebagai Islam radikal dan komunitas komando jihad (komji). Hal ini membentuk karakter Islam introvert. Jadi proyek kolonialisme modern melahirkan Islam eksklusif dan introvert—yang sesuai dengan ranah budaya agraris pedalaman dan rezim politik yang represif.

Suatu kala, saya bertemu dengan seorang inisiator PKI di Aceh yang telah bermukim di Amsterdam. Saya terkejut ketika ia mengatakan bahwa yang pertama sekali dieksekusi (extra judicial killing) di Aceh adalah enam perempuan. Hal ini menunjukkan proyek kolonialisme modern yang menjadikan Islam sebagai instrumen politik berdarahnya telah merasuk sangat dalam. Muslim membantai muslim yang berideologi berbeda, bersimpati atau berkerabat dengan pengikut komunisme.

Oleh serdadu, pola ini digunakan lagi di masa DOM. Sejumlah ulama dibawa ke kamp-kamp penyiksaan dan pembantaian serdadu untuk memberikan ‘siraman rohani’. Kesaksian para tahanan bahwa ulama justru menyalahkan, bahkan memberikan label berdosa pada mereka karena melawan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa ulama Aceh telah memiliki karakter politik yang sama dengan ulama di Indonesia Dalam. Ulama menjadi buta terhadap tindakan  mungkar dan dzalim (serdadu) yang terjadi di dalam kamp militer tersebut.

Ketika Islam dan muslim telah menjadi instrumen dan aktor proyek kolonialisme modern, maka spirit perlawanan (jihad) terhadap kemungkaran (korupsi) dan kezaliman (pelanggaran HAM) penguasa politik hilang. Akar spirit gerakan perlawanan terhadap rezim Soeharto bukan bersumber pada agama dan bukan digerakkan oleh ulama, melainkan bersumber dari akumulasi pengalaman hidup rakyat yang pahit dan berdarah selama tiga dasawarsa Orde Baru.

Pasca Reformasi
Hal yang lebih tragis lagi bagi Aceh, di pascareformasi terjadi kejumbuhan antara aktor agama dan aktor negara dalam melanjutkan proyek-proyek kolonialisme modern di masa kekuasaan Abdurrahman Wahid. Siasat budaya yang berlaku—dengan menggunakan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam—adalah merelasikan antara ulama Aceh dan NU. Dalam setiap muktamar NU, misalnya muktamar tarekat yang muktabarah, maka ulama Aceh dihadirkan.

Kemudian rezim mempropagandakan ulama sebagai pemilik otoritas tertinggi terhadap seluruh tatanan kehidupan orang Aceh. Penguasa pusat bermaksud untuk memotong pengaruh GAM dalam masyarakat dengan meminjam tangan ulama Aceh.

Di sisi lain, penguasa pusat mempropagandakan pada komunitas internasional bahwa orang Aceh adalah penganut Islam yang sangat fanatik dan radikal. Orang Aceh adalah kaum muslim yang tertutup dan eksklusif. Orang Aceh sangat membenci orang asing, apalagi non-muslim.

Pada awalnya, serdadu memberikan tekanan khusus bahwa pendanaan GAM ditopang dari hasil penjualan ganja. Sementara sebaran ganja Aceh ke seluruh pelosok nusantara paralel dengan asal-usul kesatuan serdadu yang dikirim ke Aceh.

Lalu siasat budaya ini dikembangkan menjadi proyek kriminalisasi manusia. Orang Aceh adalah pemadat ganja. Media elektronik dan cetak di Indonesia pun mengekspose penangkapan anggota sindikat ganja, apalagi bila ada pelakunya yang berasal dari Aceh. Media melanjutkan dan ikut mempertajam diskriminasi etnis yang berbasis ganja sebagaimana yang diskenariokan oleh serdadu. Lalu, serdadu memaksa pihak ulama untuk mengeluarkan fatwa yang menyangkut ganja.

Dari perspektif pascakolonial, tindakan kriminalisasi orang Aceh—dengan menggunakan ganja—adalah salah satu bagian dari paket dehumanization jika kita merujuk pada konsep kolonialisasi Frantz Fanon. Masih ada tindakan lainnya di dalam paket tersebut, antara lain, pemarakan perdagangan ilegal, perjudian, pelacuran, pencurian, pembunuhan massal, perbudakan seks di kamp militer, disgregasi etnis dan pembunuhan misterius. Ada dua hal yang diharapkan dari siasat ini, pertama inferioritas orang Aceh, konflik horizontal, dan orang Aceh menjadi manusia traumatik. Kedua, membangkitkan gairah masyarakat di luar Aceh untuk mencurigai, men-sweeping dan menghukum orang Aceh yang bermukim di daerahnya.

Proyek budaya lainnya adalah memberikan legalitas pemberlakukan syariat Islam. Hal ini justru digunakan untuk meneguhkan propaganda pada komunitas internasional: “Lihatlah, orang Aceh sangat fanatik. Mereka ingin mendirikan negara Islam di dalam Indonesia. Mereka kaum muslim yang potensial menjadi kelompok teroris. Buktinya, lihatlah apa yang dilakukan GAM!”

Dalam realitasnya, pemberlakuan syariat Islam merupakan proyek kolonialisme modern untuk memasukkan orang Aceh ke dalam ‘kerangkeng besi’. Padahal, kasus-kasus korupsi tidak diadili dengan syariat, melainkan dengan UU Tindak Pidana. Kasus-kasus pelanggaran HAM oleh serdadu tidak bisa disentuh oleh syariat, melainkan dengan peradilan koneksitas dan peradilan militer. Kasus-kasus pemerkosaan juga hanya masalah indisipliner serdadu. Kasus-kasus judi, togel dan narkoba (shabu-shabu) yang dibekingi serdadu tak terjangkau syariat. Bahkan kasus pembunuhan yang dilakukan serdadu terhadap istri mantan walikota pun tidak masuk ke dalam peradilan syariat.

Hukum syariat hanya menjangkau laki-laki Aceh yang tidak pergi ke masjid di hari Jumat. Perempuan Aceh tidak memakai jilbab. Kaum muda Aceh yang pacaran di pinggir pantai. Singkatnya, pemberlakuan syariat ibarat memakaikan sepatu besi yang kekecilan pada kaki-kaki orang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap aktor kolonial versi baru—yakni kaum dan penguasa Neo-Snouckis. Pemberlakuan syariat di Aceh hanya merupakan salah satu siasat budaya kolonialisme modern yang menguntungkan pusat.

Penutup
Islam dan muslim dalam ranah non-teologis dapat ditafsir dari perspektif pascakolonial. Aceh menjadi konteks historis dan politik kekinian yang ideal untuk menemukan bagaimanakah Islam dan muslim digunakan sebagai instrumen dan aktor dalam proyek budaya kolonialisme modern.

Proyek kolonialisme ini tanpa disadari telah tertanam di dalam kaum terpelajar muslim, atau kelas menengah Aceh. Fenomena itu semakin tampak tegas pada perilaku elite agama periode pascatsunami. Ceramah-ceramah agama di mesjid menegaskan bahwa bencana alam tsunami terjadi karena kemurkaan Allah SWT terhadap amoralitas orang Aceh yang sudah keluar batas.

Korban tsunami mendapat siraman rohani, misalnya: “Bersabarlah dalam menghadapi cobaan Tuhan, Tuhan akan menyayangi mereka yang bersabar.” Sementara bantuan kemanusiaan dari seluruh penjuru dunia tidak sampai kepada mereka karena ada kontrol dan akumulasi yang dilakukan oleh serdadu. Ulama bukannya menyiram rohani serdadu: “Bahwa tindakan mengontrol, mengakumulasi dan melakukan diskriminasi politik dalam kaitannya dengan bantuan adalah perbuatan mungkar dan dzalim. Allah SWT akan melaknati kalian, wahai kaum serdadu!”

Tanda-tanda berikutnya, ulama mulai peka dan mudah terhasut dengan isu kristenisasi. Bahkan, segala sesuatu yang asing (LSM dan serdadu) adalah identik dengan Kristen. Ulama pun meminta elite penguasa untuk mengontrol dan menyeleksi orang asing dengan mindset orang kafir. Di dalam benak mereka sudah terjadi dialog: “Tidak mungkin orang asing membantu Aceh dengan tanpa kepentingan. Adapun kepentingan itu adalah kristenisasi.”

Hal yang juga penting, apakah muskil rekonstruksi pascatsunami merupakan proyek budaya neo-snouckis (kolonialisme modern) yang terbesar di abad 21? Proyek budaya kolonial modern yang bertujuan merubah orang Aceh menjadi manusia-manusia kolonial dan beragama sesuai dengan format kolonial modern, dan pelakunya berasal dari etnik dengan agama yang sama dengan orang Aceh itu sendiri.

Jika hal ini betul-betul terjadi, maka bukan saja orang Aceh telah ditipu, melainkan komunitas internasional yang membantu Aceh atas dasar spirit kemanusiaan juga telah ditipu. Bayangkan saja, bantuan kemanusiaan telah digunakan untuk mendehumanisasi manusia lainnya (orang Aceh). Naudzubillah!

*) Sosiolog asal Nanggroe Aceh Darussalam
Read more

Syariat Islam di Aceh, Siasat Budaya Neo-Snouckis? [1]


Penulis: Otto Syamsuddin Ishak, 2005-04-07 11:23:20

Apakah agama diperuntukkan bagi penciptaan manusia yang bercitra sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan? Namun, bukankah agama juga bisa diperuntukkan bagi penciptaan manusia yang bercitra sebagaimana yang dikehendaki oleh manusia. Bahkan, negara pun bisa menggunakan agama untuk mencitra manusia sesuai dengan yang dikendaki ideologinya (nasionalisme).

Persoalan pertama, agama masih berada dalam wilayah teologis. Sedangkan persoalan berikutnya, agama sudah berada di wilayah ideologis. Dalam perspektif pascakolonial, agama sudah menjadi instrumen dalam proyek kolonialisme. Perbedaannya, jika persoalan yang kedua aktornya adalah individu atau komunitas ulama, maka persoalan yang ketiga aktornya adalah negara (institusi politik). Celakanya, bahkan kerap, aktor individu jumbuh dengan aktor negara jika kita melihat pada konteks kehidupan orang Aceh.

Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), agama sebagai instrumen kolonial, tercermin dalam pertanyaan yang diajukan kepada responden di Aceh: “Apakah ibu/bapak lebih merasa sebagai orang dari suku-bangsa asal seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll., lebih sebagai orang dari agama tertentu (Islam, Kristen, dll.), atau lebih merasa sebagai orang Indonesia?” Perumus pertanyaan tersebut membandingkan antara identitas etnik, religius dan ideologis. Hasilnya, menurut LSI bahwa orang Aceh lebih bangga menjadi orang Indonesia daripada seorang muslim. Dengan lain kata, keindonesiaan (identitas ideologis) telah melampaui keislaman (identitas religiusitas) dan keacehan (identitas etnis).

Untuk mendapatkan konteks historis dan kekinian agama dalam perspektif pascakolonial, Aceh memang merupakan wilayah—dalam artian teritori dan waktu—di mana agama telah menjadi prototipe ideal instrumen kolonialisasi. Meskipun hal ini sering berada di luar kesadaran sosiologis orang Aceh. Bahkan ulama Aceh itu sendiri, serta cendekiawan muslim nusantara serta komunitasnya tidak sadar jika mereka telah berubah dari aktor teologis menjadi aktor ideologis yang mana mereka telah menggunakan agama sebagai instrumen kolonialisasi— teristimewa dalam periode bernegara pascakolonial (selepas 1945, red).

Dalam teori pascakolonial, negara pusat bukan saja mengambil alih secara paksa sebuah wilayah dan populasi manusia, tetapi juga menciptakan sistem ekonomi, politik dan budaya kolonial di wilayah itu yang memberikan keuntungan semaksimal mungkin pada negara pusat. Negara pusat terus berpikir untuk menciptakan siasat militer, dan siasat kebudayaan agar wilayah dan populasi yang dikuasainya menjelma menjadi sebuah koloni yang kompleks.

Pada intinya, siasat kebudayaan adalah penghilangan keaslian karakter budaya di koloni (dekonstruktif) sehingga terbentuk mental “kompleks inferioritas”,  serta membentuk budaya baru yang berkiblat ke pusat koloni (rekonstruktif).

Snouckis
Dalam kerangka berpikir siasat kebudayaan (kolonialisasi) itulah, Pemerintah Kolonial Belanda mengirim Snock Hurgronje. Apalagi, siasat militer tidak berhasil menjadikan Aceh sebagai sebuah koloni yang utuh. Perang Aceh berhasil mengulur waktu yang panjang (1873-1949), menyita energi yang melelahkan dan menguras dana yang sangat besar. Bahkan melampaui daya dukung keuangan serikat dagang dan negara itu sendiri.

Dampak negatif lainnya bagi negara pusat, siasat militer justru mengkristalkan spirit perlawanan yang manifes maupun laten di dalam diri orang Aceh. Di satu sisi, orang Aceh semakin mengidealkan dirinya menjadi gerilyawan, dan berakhir sebagai syuhada. Idealisasi orang Aceh bukan dalam artian sentimen terhadap nonmuslim, melainkan bertindak memerangi kemungkaran yang aktornya secara kebetulan jumbuh dengan individu non-muslim dan negara asing. Di sisi lain, serdadu mengalami stress dan menjadi bertindak brutal, juga para perwira tingginya.

Apakah siasat kebudayaan kolonial yang dijalankan Snouck di Aceh?

Target siasat itu langsung ke akar yang menghidupkan orang Aceh, yakni Islam. Karena itu, Snouck melakukan riset yang intensif untuk mengetahui pengaruh Islam terhadap kehidupan politik, ekonomi dan budaya orang Aceh. Meskipun hasil risetnya lebih tepat disebut sebagai studi kasus tentang eksistensi agama dalam kehidupan orang Aceh yang berada di wilayah dataran rendah, Aceh Besar. Meskipun demikian, studi ini memberikan inspirasi pada Snouck untuk merumuskan siasat budaya bagaimana ‘menjinakkan’ Islam di Aceh khususnya, dan wilayah koloni Hindia Belanda umumnya.

Siasat kebudayaan ini bukanlah kristenisasi, melainkan reislamisasi orang Aceh. Bukan pula, transformasi identitas dari keislaman menjadi kebelandaan. Islam yang berspirit melawan (kemungkaran) negara pusat harus direkonstruksi menjadi Islam yang loyal terhadap pusat kolonial, tanpa peduli terhadap kemungkaran. Islam harus dijadikan instrumen utama kolonialisasi.

Ada perbedaan yang tajam antara siasat militer dan siasat kebudayaan kolonial. Siasat militer, jika jenderal mati, maka mesjid di bakar. Ketika Kohler mati, maka Masjid Raya pun dibakar oleh serdadunya. Siasat kebudayaan justru sebaliknya, aktor kolonial harus menjadi imam mesjid, maka mesjid harus dibangun lebih megah lagi. Karena itu, proyek budaya yang utama adalah membangun kembali Masjid Raya dengan merujuk pada arsitektur Taj Mahal yang megah dan menyimbolkan kecintaan yang dalam.

Di sisi lain, Snouck mendekonstruksi identitas keacehan. Bahwa negara tradisional Aceh adalah negara perompak. Bahwa tingkat intelektualitas keagamaan ulama Aceh adalah rendah. Bahwa religiusitas orang Aceh adalah mistis dan takhayul. Padahal, di sisi lain, Snouck mengakui spirit keagamaan orang Aceh berbasis pada sufisme.

Selain merekonstruksi mesjid, Snouck mengintervensi manajemen masjid—bahkan ia berhasil menjadi imam besar—setelah bekerjasama dengan seorang kadi hulubalang Aceh. Tahap berikutnya, Snouck menata kembali institusi keagamaan agar lebih birokratis. Hal yang penting adalah pengangkatan H. Hasan Mustapa—kenalan utamanya sejak di Mekkah dan ulama yang berasal dari kalangan kelas menengah Sunda—sebagai Penghulu Besar di Aceh selama dua tahun. Lalu, ia diganti oleh Raden Haji Muhammad Rusydi—yang masih memiliki tali kekerabatan. Sejak itulah Islam menjadi instrumen politik kolonial yang terlembaga, yang kemudian dilanjutkan di dalam konteks Indonesia sebagai departemen agama.

Neo-Snouckis
Dari perspektif pascakolonial, apakah siasat budaya kolonial masih terus dilanjutkan di dalam negara modern Indonesia—dengan versi barunya, yakni kolonialisme modern—yang selaras dengan prinsip negara kesatuan?

Jika kita mengacu pada tesis Loomba, maka kemerdekaan tidak secara otomatis memusnahkan siasat budaya kolonial. Bahkan, kelangsungan siasat budaya kolonial bisa dimanipulasi sebagai bagian dari semangat nasionalisme yang terus-menerus dipompa oleh elite penguasa negara baru.

Dalam kolonialisme modern, wilayah politik terbagi dua, yakni pusat dan daerah dalam relasi yang sentralistik. Sistem demikian juga dipakai di Indonesia. Polanya, sistem politik harus memperkuat otoritas pusat dan memperlemah otoritas daerah. Sistem ekonominya, daerah adalah wilayah eksploitasi sumberdaya alam dan pusat adalah pengelola hasil sumberdaya alam itu.

Dalam sistem kolonial lama, daerah yang memberikan upeti ke pusat. Sekarang, bukan lagi upeti, tetapi semua alat produksi dimiliki dan dikelola oleh pusat. Pusat ‘menyedekahkan’ hasilnya kepada setiap daerah, sesuai dengan kemurahan hati pusat. Kemudian, daerah adalah pasar dan konsumen terhadap industri yang menumpuk di (wilayah) pusat kekuasaan. 

Bagaimanakah dengan siasat yang berkenaan dengan identitas budaya daerah? Apakah setelah kemerdekaan, identitas budaya lokal yang telah dipunahkan oleh pemerintah kolonial mendapat kesempatan atau didorong kembali untuk hidup oleh penguasa pusat?

Rezim Soekarno
Fenomena gerakan pemberontakan daerah, khususnya DI/TII di Aceh dalam periode Soekarno, jika dilihat dari perspektif pascakolonial, adalah akibat dari masih dilanjutkannya sistem-sistem kolonial itu. Apa yang dilakukan oleh Tgk Daud Beureueh adalah perlawanan terhadap dominasi sistem kolonial modern yang dipraktekkan rezim Soekarno. Praktek kolonial modern ini sangat terasa di luar wilayah Indonesia Luar ketimbang di Indonesia Dalam (dalam pembagian Geertz).

Di wilayah Indonesia Luar, pihak kolonial relatif tidak memiliki waktu yang cukup untuk membangun sistem politik dan ekonomi yang kuat atau, wilayah ini tidak pernah menjadi pusat kolonial. Akibatnya, ada pola metamorfose yang berbeda dalam menyikapi kelanjutan sistem kolonial antar komunitas keagamaan di Indonesia. Di sana, komunitas keagamaan membangun perlawanan terhadap dominasi  pusat, termasuk menjadi gerakan politik bersenjata. Apalagi sebagian dari tokohnya adalah pemimpin gerilya di masa kolonial.

Di Indonesia Dalam, komunitas keagamaan berupaya mengintegrasikan diri ke dalam struktur birokrasi pemerintahan. Karena itu terjadi kompetisi politik yang tajam, misalnya antara NU dan Muhammadiyah, dalam perebutan jabatan kementerian agama—yang merupakan proyek kolonial. Mereka berebut menjadi bagian dari rezim baru yang melanjutkan proyek kolonial.

Relasinya dengan kekuasaan, NU mengeluarkan fatwa bughat terhadap gerakan perlawanan muslim di wilayah Indonesia Luar. Fatwa ini merupakan bentuk awal komunitas keagamaan yang jumbuh dengan kekuasaan. Sebuah fatwa yang menghalalkan pembunuhan muslim di Indonesia. Berikutnya, adalah keterlibatan mereka dalam aksi pembasmian PKI yang dimobilisasi serdadu.

Sementara siasat budaya yang menyangkut identitas daerah, Pusat membangun versi baru. Jika dahulu kebanggaan identitas dikaitkan dengan Hindia Belanda, maka sekarang kebanggaan terhadap keindonesiaan (nasionalisme), mulai dari propaganda “ganyang Malaysia” hingga kebanggaan terhadap proyek-proyek mercusuar. Ganyang Malaysia menunjuk pada kebencian sesama etnik melayu akibat nasionalisme (hitam).

Di Aceh, orang mulai bangga menyebutkkan bahwa pabrik Gula Cot Girek adalah pabrik terbesar dan termodern di Indonesia. Orang Aceh merasa inferior atau tidak modern bila tidak berbahasa Indonesia. Sementara, konsesi politik pasca DI/TII yang berkenaan dengan tiga keistimewaan Aceh (dalam bidang agama, adat dan pendidikan)—yang sebenarnya dapat menjadi basis bagi siasat budaya perlawanan lokal terhadap budaya dominan—tidak berjalan.
Read more

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel: Sembilan Elemen Jurnalisme

Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap jurnalis. Prinsip-prinsip ini telah melalui masa pasang dan surut. Namun, dalam perjalanan waktu, terbukti prinsip-prinsip itu tetap bertahan.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Kesembilan elemen tersebut adalah:

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme—pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain.

Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang divonis itu mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah? Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses pengadilan –serta vonis bersalah atau tidak-bersalah-- tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti itu.

2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.

Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.

3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.

Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.

Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liputJurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.

Adalah penting untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang ada kecenderungan media untuk menerapkan ketentuan “jarak” yang lebih ketat pada jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh menjadi pengurus parpol atau konsultan politik politisi tertentu.

Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan, status sosial-ekonomi, dan gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus didahulukan.

5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.

Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis sendiri, dengan mengartikannya sebagai “mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan.” Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan, atau “pengawasan” yang lebih bertujuan untuk memuaskan hasrat audiens pada sensasi, ketimbang untuk benar-benar melayani kepentingan umum.

Namun, yang mungkin lebih berbahaya, adalah ancaman dari jenis baru konglomerasi korporasi, yang secara efektif mungkin menghancurkan independensi, yang mutlak dibutuhkan oleh pers untuk mewujudkan peran pemantauan mereka.

6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.

Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada publik.

Sebuah perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan mengipas kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem dari opini yang berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru mengabaikan publik. Yang tak kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demografis yang menarik sebagai sasaran iklan.

7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.

Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat. Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan sensasionalisme.

8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif.

Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.

9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.

Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu.

Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Organisasi pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang terkonglomerasi dewasa ini, atau perusahaan induk mereka, perlu membangun budaya yang memupuk tanggung jawab individual. Para manajer juga harus bersedia mendengarkan, bukan cuma mengelola problem dan keprihatinan para jurnalisnya.

Dalam perkembangan berikutnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke-10. Yaitu:

10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme. ***

Jakarta, Mei 2009

Sumber utama:
Bill Kovach & Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.
Read more

Tujuh Kelompok Mahasiswa Ikut Debat

Sebanyak tujuh kelompok mahasiswa dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry mengikut debat dua bahasa, Arab dan Inggris.

Debat Bahasa Arab dan Bahasa Inggris itu dilaksanakan di aula fakultas setempat, Sabtu (08/10/2016) dengan tema “Mencintai Bahasa, Mengukir Prestasi”.

Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Drs. Baharuddin AR, M. Si saat membuka acara mengatakan acara tersebut dapat mengembangkan bakat minat mahasiswa untuk melatih kemampuan dalam berbahasa.

Ketua panitia debat Marfika menjelaskan, kegiatan yang mereka lakukan berlangsung selama dua jam, dari pukul 09.30 Wib sampai dengan 11.30 Wib.

“Peserta debat dibagi dalam tujuh kelompok, Bahasa Arab dua kelompok atau empat orang dan Bahasa Inggris lima kelompok atau 10 orang. Jumlah partisipan mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi sebanyak 14 orang," sebut dia.

Ia menambahkan, untuk menilai acara debat dilbatkan dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Para dosen itu antara lain, Ade Irma, B. H. Sc., M.A., Dr. Jauhari, M.Si., Dr. Abizar Muhammad Yati, Lc., M.A., Deasi Susilawati, S. Sos. I., dan Ustad Fakhruddin Lahmuddin, S.Ag., M.Pd. (Raudatul Muna)
Read more