Penulis: Otto Syamsuddin Ishak, 2005-04-07 11:15:30
Rezim Soeharto
Pada
periode Soeharto, tiga keistimewaan itu diabaikan secara legal dengan
Undang-undang Pemerintah Daerah dan Pendidikan Nasional. Bahkan, upaya
mengimplementasikan tiga keistimewaan itu dengan mudah dihantam oleh isu
komando jihad, dan Gerakan Pengacau Liar (GPK) dalam periode DOM
(1989-1998).
Identitas
lokal diorientasikan pada kebanggaan terhadap industri eksploitasi gas
alam Arun. Industri itu dipropagandakan sebagai penghasil gas terbesar
di dunia, yang menggunakan teknologi tercanggih (supra modern). Orang
Aceh bangga—khususnya kaum birokrat dan kelas menengah atas—bahwa
gagasan pembentukan Bappenas berasal dari pengembangan gagasan Aceh Development Board (ADB).
Orang Aceh bangga bahwa pelembagaan ulama (Majelis Ulama Indonesia)
adalah berasal dari Aceh. Elite agama Aceh tidak sadar bahwa pelembagaan
ulama merupakan kelanjutan dari proyek kolonialisasi yang telah
dilakukan oleh Snock Hurgronje. Pelembagaan itu merupakan siasat budaya
pusat untuk mengontrol ulama melalui institusi birokrasi.
Dalam
periode negara modern, komunitas muslim selalu disediakan musuh oleh
penguasa politik. Islam dan muslim dibenturkan dengan non-Islam dan
non-muslim. Islam dan muslim dibenturkan dengan komunisme (Tragedi ‘65).
Hal ini membentuk karakter Islam eksklusif. Islam dan muslim
dibenturkan dengan Islam dan muslim yang dilabel dan dipropagandakan
oleh penguasa sebagai Islam radikal dan komunitas komando jihad (komji).
Hal ini membentuk karakter Islam introvert. Jadi proyek kolonialisme modern melahirkan Islam eksklusif dan introvert—yang sesuai dengan ranah budaya agraris pedalaman dan rezim politik yang represif.
Suatu
kala, saya bertemu dengan seorang inisiator PKI di Aceh yang telah
bermukim di Amsterdam. Saya terkejut ketika ia mengatakan bahwa yang
pertama sekali dieksekusi (extra judicial killing)
di Aceh adalah enam perempuan. Hal ini menunjukkan proyek kolonialisme
modern yang menjadikan Islam sebagai instrumen politik berdarahnya telah
merasuk sangat dalam. Muslim membantai muslim yang berideologi berbeda,
bersimpati atau berkerabat dengan pengikut komunisme.
Oleh
serdadu, pola ini digunakan lagi di masa DOM. Sejumlah ulama dibawa ke
kamp-kamp penyiksaan dan pembantaian serdadu untuk memberikan ‘siraman
rohani’. Kesaksian para tahanan bahwa ulama justru menyalahkan, bahkan
memberikan label berdosa pada mereka karena melawan pemerintah. Hal ini
menunjukkan bahwa ulama Aceh telah memiliki karakter politik yang sama
dengan ulama di Indonesia Dalam. Ulama menjadi buta terhadap tindakan mungkar dan dzalim (serdadu) yang terjadi di dalam kamp militer tersebut.
Ketika
Islam dan muslim telah menjadi instrumen dan aktor proyek kolonialisme
modern, maka spirit perlawanan (jihad) terhadap kemungkaran (korupsi)
dan kezaliman (pelanggaran HAM) penguasa politik hilang. Akar spirit
gerakan perlawanan terhadap rezim Soeharto bukan bersumber pada agama
dan bukan digerakkan oleh ulama, melainkan bersumber dari akumulasi
pengalaman hidup rakyat yang pahit dan berdarah selama tiga dasawarsa
Orde Baru.
Pasca Reformasi
Hal
yang lebih tragis lagi bagi Aceh, di pascareformasi terjadi kejumbuhan
antara aktor agama dan aktor negara dalam melanjutkan proyek-proyek
kolonialisme modern di masa kekuasaan Abdurrahman Wahid. Siasat budaya
yang berlaku—dengan menggunakan dana bantuan Sultan Brunei
Darussalam—adalah merelasikan antara ulama Aceh dan NU. Dalam setiap
muktamar NU, misalnya muktamar tarekat yang muktabarah, maka ulama Aceh
dihadirkan.
Kemudian
rezim mempropagandakan ulama sebagai pemilik otoritas tertinggi
terhadap seluruh tatanan kehidupan orang Aceh. Penguasa pusat bermaksud
untuk memotong pengaruh GAM dalam masyarakat dengan meminjam tangan
ulama Aceh.
Di
sisi lain, penguasa pusat mempropagandakan pada komunitas internasional
bahwa orang Aceh adalah penganut Islam yang sangat fanatik dan radikal.
Orang Aceh adalah kaum muslim yang tertutup dan eksklusif. Orang Aceh
sangat membenci orang asing, apalagi non-muslim.
Pada
awalnya, serdadu memberikan tekanan khusus bahwa pendanaan GAM ditopang
dari hasil penjualan ganja. Sementara sebaran ganja Aceh ke seluruh
pelosok nusantara paralel dengan asal-usul kesatuan serdadu yang dikirim
ke Aceh.
Lalu
siasat budaya ini dikembangkan menjadi proyek kriminalisasi manusia.
Orang Aceh adalah pemadat ganja. Media elektronik dan cetak di Indonesia
pun mengekspose penangkapan
anggota sindikat ganja, apalagi bila ada pelakunya yang berasal dari
Aceh. Media melanjutkan dan ikut mempertajam diskriminasi etnis yang
berbasis ganja sebagaimana yang diskenariokan oleh serdadu. Lalu,
serdadu memaksa pihak ulama untuk mengeluarkan fatwa yang menyangkut
ganja.
Dari perspektif pascakolonial, tindakan kriminalisasi orang Aceh—dengan menggunakan ganja—adalah salah satu bagian dari paket dehumanization
jika kita merujuk pada konsep kolonialisasi Frantz Fanon. Masih ada
tindakan lainnya di dalam paket tersebut, antara lain, pemarakan
perdagangan ilegal, perjudian, pelacuran, pencurian, pembunuhan massal,
perbudakan seks di kamp militer, disgregasi etnis dan pembunuhan
misterius. Ada dua hal yang diharapkan dari siasat ini, pertama inferioritas orang Aceh, konflik horizontal, dan orang Aceh menjadi manusia traumatik. Kedua, membangkitkan gairah masyarakat di luar Aceh untuk mencurigai, men-sweeping dan menghukum orang Aceh yang bermukim di daerahnya.
Proyek
budaya lainnya adalah memberikan legalitas pemberlakukan syariat Islam.
Hal ini justru digunakan untuk meneguhkan propaganda pada komunitas
internasional: “Lihatlah, orang Aceh sangat fanatik. Mereka ingin
mendirikan negara Islam di dalam Indonesia. Mereka kaum muslim yang
potensial menjadi kelompok teroris. Buktinya, lihatlah apa yang
dilakukan GAM!”
Dalam
realitasnya, pemberlakuan syariat Islam merupakan proyek kolonialisme
modern untuk memasukkan orang Aceh ke dalam ‘kerangkeng besi’. Padahal,
kasus-kasus korupsi tidak diadili dengan syariat, melainkan dengan UU
Tindak Pidana. Kasus-kasus pelanggaran HAM oleh serdadu tidak bisa
disentuh oleh syariat, melainkan dengan peradilan koneksitas dan
peradilan militer. Kasus-kasus pemerkosaan juga hanya masalah
indisipliner serdadu. Kasus-kasus judi, togel dan narkoba (shabu-shabu)
yang dibekingi serdadu tak terjangkau syariat. Bahkan kasus pembunuhan
yang dilakukan serdadu terhadap istri mantan walikota pun tidak masuk ke
dalam peradilan syariat.
Hukum
syariat hanya menjangkau laki-laki Aceh yang tidak pergi ke masjid di
hari Jumat. Perempuan Aceh tidak memakai jilbab. Kaum muda Aceh yang
pacaran di pinggir pantai. Singkatnya, pemberlakuan syariat ibarat
memakaikan sepatu besi yang kekecilan pada kaki-kaki orang Aceh yang
melakukan perlawanan terhadap aktor kolonial versi baru—yakni kaum dan
penguasa Neo-Snouckis. Pemberlakuan syariat di Aceh hanya merupakan
salah satu siasat budaya kolonialisme modern yang menguntungkan pusat.
Penutup
Islam
dan muslim dalam ranah non-teologis dapat ditafsir dari perspektif
pascakolonial. Aceh menjadi konteks historis dan politik kekinian yang
ideal untuk menemukan bagaimanakah Islam dan muslim digunakan sebagai
instrumen dan aktor dalam proyek budaya kolonialisme modern.
Proyek
kolonialisme ini tanpa disadari telah tertanam di dalam kaum terpelajar
muslim, atau kelas menengah Aceh. Fenomena itu semakin tampak tegas
pada perilaku elite agama periode pascatsunami. Ceramah-ceramah agama di
mesjid menegaskan bahwa bencana alam tsunami terjadi karena kemurkaan
Allah SWT terhadap amoralitas orang Aceh yang sudah keluar batas.
Korban
tsunami mendapat siraman rohani, misalnya: “Bersabarlah dalam
menghadapi cobaan Tuhan, Tuhan akan menyayangi mereka yang bersabar.”
Sementara bantuan kemanusiaan dari seluruh penjuru dunia tidak sampai
kepada mereka karena ada kontrol dan akumulasi yang dilakukan oleh
serdadu. Ulama bukannya menyiram rohani serdadu: “Bahwa tindakan
mengontrol, mengakumulasi dan melakukan diskriminasi politik dalam
kaitannya dengan bantuan adalah perbuatan mungkar dan dzalim. Allah SWT akan melaknati kalian, wahai kaum serdadu!”
Tanda-tanda
berikutnya, ulama mulai peka dan mudah terhasut dengan isu
kristenisasi. Bahkan, segala sesuatu yang asing (LSM dan serdadu) adalah
identik dengan Kristen. Ulama pun meminta elite penguasa untuk
mengontrol dan menyeleksi orang asing dengan mindset orang kafir.
Di dalam benak mereka sudah terjadi dialog: “Tidak mungkin orang asing
membantu Aceh dengan tanpa kepentingan. Adapun kepentingan itu adalah
kristenisasi.”
Hal
yang juga penting, apakah muskil rekonstruksi pascatsunami merupakan
proyek budaya neo-snouckis (kolonialisme modern) yang terbesar di abad
21? Proyek budaya kolonial modern yang bertujuan merubah orang Aceh
menjadi manusia-manusia kolonial dan beragama sesuai dengan format
kolonial modern, dan pelakunya berasal dari etnik dengan agama yang sama
dengan orang Aceh itu sendiri.
Jika
hal ini betul-betul terjadi, maka bukan saja orang Aceh telah ditipu,
melainkan komunitas internasional yang membantu Aceh atas dasar spirit
kemanusiaan juga telah ditipu. Bayangkan saja, bantuan kemanusiaan telah
digunakan untuk mendehumanisasi manusia lainnya (orang Aceh).
Naudzubillah!
*) Sosiolog asal Nanggroe Aceh Darussalam