Penulis: Otto Syamsuddin Ishak, 2005-04-07 11:23:20
Apakah
agama diperuntukkan bagi penciptaan manusia yang bercitra sebagaimana
yang dikehendaki oleh Tuhan? Namun, bukankah agama juga bisa
diperuntukkan bagi penciptaan manusia yang bercitra sebagaimana yang
dikehendaki oleh manusia. Bahkan, negara pun bisa menggunakan agama
untuk mencitra manusia sesuai dengan yang dikendaki ideologinya
(nasionalisme).
Persoalan
pertama, agama masih berada dalam wilayah teologis. Sedangkan persoalan
berikutnya, agama sudah berada di wilayah ideologis. Dalam perspektif
pascakolonial, agama sudah menjadi instrumen dalam proyek kolonialisme.
Perbedaannya, jika persoalan yang kedua aktornya adalah individu atau
komunitas ulama, maka persoalan yang ketiga aktornya adalah negara
(institusi politik). Celakanya, bahkan kerap, aktor individu jumbuh
dengan aktor negara jika kita melihat pada konteks kehidupan orang Aceh.
Dalam
survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), agama sebagai instrumen
kolonial, tercermin dalam pertanyaan yang diajukan kepada responden di
Aceh: “Apakah ibu/bapak lebih merasa sebagai orang dari suku-bangsa asal
seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll., lebih sebagai orang dari
agama tertentu (Islam, Kristen, dll.), atau lebih merasa sebagai orang
Indonesia?” Perumus pertanyaan tersebut membandingkan antara identitas
etnik, religius dan ideologis. Hasilnya, menurut LSI bahwa orang Aceh
lebih bangga menjadi orang Indonesia daripada seorang muslim. Dengan
lain kata, keindonesiaan (identitas ideologis) telah melampaui keislaman
(identitas religiusitas) dan keacehan (identitas etnis).
Untuk
mendapatkan konteks historis dan kekinian agama dalam perspektif
pascakolonial, Aceh memang merupakan wilayah—dalam artian teritori dan
waktu—di mana agama telah menjadi prototipe ideal instrumen
kolonialisasi. Meskipun hal ini sering berada di luar kesadaran
sosiologis orang Aceh. Bahkan ulama Aceh itu sendiri, serta cendekiawan
muslim nusantara serta komunitasnya tidak sadar jika mereka telah
berubah dari aktor teologis menjadi aktor ideologis yang mana mereka
telah menggunakan agama sebagai instrumen kolonialisasi— teristimewa
dalam periode bernegara pascakolonial (selepas 1945, red).
Dalam
teori pascakolonial, negara pusat bukan saja mengambil alih secara
paksa sebuah wilayah dan populasi manusia, tetapi juga menciptakan
sistem ekonomi, politik dan budaya kolonial di wilayah itu yang
memberikan keuntungan semaksimal mungkin pada negara pusat. Negara pusat
terus berpikir untuk menciptakan siasat militer, dan siasat kebudayaan
agar wilayah dan populasi yang dikuasainya menjelma menjadi sebuah
koloni yang kompleks.
Pada
intinya, siasat kebudayaan adalah penghilangan keaslian karakter budaya
di koloni (dekonstruktif) sehingga terbentuk mental “kompleks
inferioritas”, serta membentuk budaya baru yang berkiblat ke pusat koloni (rekonstruktif).
Snouckis
Dalam
kerangka berpikir siasat kebudayaan (kolonialisasi) itulah, Pemerintah
Kolonial Belanda mengirim Snock Hurgronje. Apalagi, siasat militer tidak
berhasil menjadikan Aceh sebagai sebuah koloni yang utuh. Perang Aceh
berhasil mengulur waktu yang panjang (1873-1949), menyita energi yang
melelahkan dan menguras dana yang sangat besar. Bahkan melampaui daya
dukung keuangan serikat dagang dan negara itu sendiri.
Dampak
negatif lainnya bagi negara pusat, siasat militer justru mengkristalkan
spirit perlawanan yang manifes maupun laten di dalam diri orang Aceh.
Di satu sisi, orang Aceh semakin mengidealkan dirinya menjadi
gerilyawan, dan berakhir sebagai syuhada. Idealisasi orang Aceh bukan
dalam artian sentimen terhadap nonmuslim, melainkan bertindak memerangi
kemungkaran yang aktornya secara kebetulan jumbuh dengan individu
non-muslim dan negara asing. Di sisi lain, serdadu mengalami stress dan menjadi bertindak brutal, juga para perwira tingginya.
Apakah siasat kebudayaan kolonial yang dijalankan Snouck di Aceh?
Target
siasat itu langsung ke akar yang menghidupkan orang Aceh, yakni Islam.
Karena itu, Snouck melakukan riset yang intensif untuk mengetahui
pengaruh Islam terhadap kehidupan politik, ekonomi dan budaya orang
Aceh. Meskipun hasil risetnya lebih tepat disebut sebagai studi kasus
tentang eksistensi agama dalam kehidupan orang Aceh yang berada di
wilayah dataran rendah, Aceh Besar. Meskipun demikian, studi ini
memberikan inspirasi pada Snouck untuk merumuskan siasat budaya
bagaimana ‘menjinakkan’ Islam di Aceh khususnya, dan wilayah koloni
Hindia Belanda umumnya.
Siasat
kebudayaan ini bukanlah kristenisasi, melainkan reislamisasi orang
Aceh. Bukan pula, transformasi identitas dari keislaman menjadi
kebelandaan. Islam yang berspirit melawan (kemungkaran) negara pusat
harus direkonstruksi menjadi Islam yang loyal terhadap pusat kolonial,
tanpa peduli terhadap kemungkaran. Islam harus dijadikan instrumen utama
kolonialisasi.
Ada
perbedaan yang tajam antara siasat militer dan siasat kebudayaan
kolonial. Siasat militer, jika jenderal mati, maka mesjid di bakar.
Ketika Kohler mati, maka Masjid Raya pun dibakar oleh serdadunya. Siasat
kebudayaan justru sebaliknya, aktor kolonial harus menjadi imam mesjid,
maka mesjid harus dibangun lebih megah lagi. Karena itu, proyek budaya
yang utama adalah membangun kembali Masjid Raya dengan merujuk pada
arsitektur Taj Mahal yang megah dan menyimbolkan kecintaan yang dalam.
Di
sisi lain, Snouck mendekonstruksi identitas keacehan. Bahwa negara
tradisional Aceh adalah negara perompak. Bahwa tingkat intelektualitas
keagamaan ulama Aceh adalah rendah. Bahwa religiusitas orang Aceh adalah
mistis dan takhayul. Padahal, di sisi lain, Snouck mengakui spirit
keagamaan orang Aceh berbasis pada sufisme.
Selain
merekonstruksi mesjid, Snouck mengintervensi manajemen masjid—bahkan ia
berhasil menjadi imam besar—setelah bekerjasama dengan seorang kadi
hulubalang Aceh. Tahap berikutnya, Snouck menata kembali institusi
keagamaan agar lebih birokratis. Hal yang penting adalah pengangkatan H.
Hasan Mustapa—kenalan utamanya sejak di Mekkah dan ulama yang berasal
dari kalangan kelas menengah Sunda—sebagai Penghulu Besar di Aceh selama
dua tahun. Lalu, ia diganti oleh Raden Haji Muhammad Rusydi—yang masih
memiliki tali kekerabatan. Sejak itulah Islam menjadi instrumen politik
kolonial yang terlembaga, yang kemudian dilanjutkan di dalam konteks
Indonesia sebagai departemen agama.
Neo-Snouckis
Dari
perspektif pascakolonial, apakah siasat budaya kolonial masih terus
dilanjutkan di dalam negara modern Indonesia—dengan versi barunya, yakni
kolonialisme modern—yang selaras dengan prinsip negara kesatuan?
Jika
kita mengacu pada tesis Loomba, maka kemerdekaan tidak secara otomatis
memusnahkan siasat budaya kolonial. Bahkan, kelangsungan siasat budaya
kolonial bisa dimanipulasi sebagai bagian dari semangat nasionalisme
yang terus-menerus dipompa oleh elite penguasa negara baru.
Dalam
kolonialisme modern, wilayah politik terbagi dua, yakni pusat dan
daerah dalam relasi yang sentralistik. Sistem demikian juga dipakai di
Indonesia. Polanya, sistem politik harus memperkuat otoritas pusat dan
memperlemah otoritas daerah. Sistem ekonominya, daerah adalah wilayah
eksploitasi sumberdaya alam dan pusat adalah pengelola hasil sumberdaya
alam itu.
Dalam
sistem kolonial lama, daerah yang memberikan upeti ke pusat. Sekarang,
bukan lagi upeti, tetapi semua alat produksi dimiliki dan dikelola oleh
pusat. Pusat ‘menyedekahkan’ hasilnya kepada setiap daerah, sesuai
dengan kemurahan hati pusat. Kemudian, daerah adalah pasar dan konsumen
terhadap industri yang menumpuk di (wilayah) pusat kekuasaan.
Bagaimanakah
dengan siasat yang berkenaan dengan identitas budaya daerah? Apakah
setelah kemerdekaan, identitas budaya lokal yang telah dipunahkan oleh
pemerintah kolonial mendapat kesempatan atau didorong kembali untuk
hidup oleh penguasa pusat?
Rezim Soekarno
Fenomena
gerakan pemberontakan daerah, khususnya DI/TII di Aceh dalam periode
Soekarno, jika dilihat dari perspektif pascakolonial, adalah akibat dari
masih dilanjutkannya sistem-sistem kolonial itu. Apa yang dilakukan
oleh Tgk Daud Beureueh adalah perlawanan terhadap dominasi sistem
kolonial modern yang dipraktekkan rezim Soekarno. Praktek kolonial
modern ini sangat terasa di luar wilayah Indonesia Luar ketimbang di Indonesia Dalam (dalam pembagian Geertz).
Di
wilayah Indonesia Luar, pihak kolonial relatif tidak memiliki waktu
yang cukup untuk membangun sistem politik dan ekonomi yang kuat atau,
wilayah ini tidak pernah menjadi pusat kolonial. Akibatnya, ada pola
metamorfose yang berbeda dalam menyikapi kelanjutan sistem kolonial
antar komunitas keagamaan di Indonesia. Di sana, komunitas keagamaan
membangun perlawanan terhadap dominasi pusat, termasuk menjadi gerakan politik bersenjata. Apalagi sebagian dari tokohnya adalah pemimpin gerilya di masa kolonial.
Di
Indonesia Dalam, komunitas keagamaan berupaya mengintegrasikan diri ke
dalam struktur birokrasi pemerintahan. Karena itu terjadi kompetisi
politik yang tajam, misalnya antara NU dan Muhammadiyah, dalam perebutan
jabatan kementerian agama—yang merupakan proyek kolonial. Mereka
berebut menjadi bagian dari rezim baru yang melanjutkan proyek kolonial.
Relasinya dengan kekuasaan, NU mengeluarkan fatwa bughat terhadap
gerakan perlawanan muslim di wilayah Indonesia Luar. Fatwa ini
merupakan bentuk awal komunitas keagamaan yang jumbuh dengan kekuasaan.
Sebuah fatwa yang menghalalkan pembunuhan muslim di Indonesia.
Berikutnya, adalah keterlibatan mereka dalam aksi pembasmian PKI yang
dimobilisasi serdadu.
Sementara
siasat budaya yang menyangkut identitas daerah, Pusat membangun versi
baru. Jika dahulu kebanggaan identitas dikaitkan dengan Hindia Belanda,
maka sekarang kebanggaan terhadap keindonesiaan (nasionalisme), mulai
dari propaganda “ganyang Malaysia” hingga kebanggaan terhadap
proyek-proyek mercusuar. Ganyang Malaysia menunjuk pada kebencian sesama
etnik melayu akibat nasionalisme (hitam).
Di
Aceh, orang mulai bangga menyebutkkan bahwa pabrik Gula Cot Girek
adalah pabrik terbesar dan termodern di Indonesia. Orang Aceh merasa
inferior atau tidak modern bila tidak berbahasa Indonesia. Sementara,
konsesi politik pasca DI/TII yang berkenaan dengan tiga keistimewaan
Aceh (dalam bidang agama, adat dan pendidikan)—yang sebenarnya dapat
menjadi basis bagi siasat budaya perlawanan lokal terhadap budaya
dominan—tidak berjalan.
0 komentar